Pancasila: Perjalanan Mencari
Status Kefilsafatan
Oleh: Benni E. Matindas
Artikel ini pernah terbit dlm KORAN TEMPO, 31 Mei 2013 (tesis yg sama sdh bbrp kali disajikan penulis dlm pelbagai tulisan sejak 1992)
K
|
eberhasilan
mempertahankan kemerdekaan RI, yang berklimaks dengan pengakuan kedaulatan oleh
lawan pada akhir 1949, segera diiring apresiasi yang luar biasa marak atas
Pancasila. Konstitusi sudah silih berganti, terakhir UUDS 1950, Pancasila tetap
dikukuhkan. Pidato Bung Karno 1 Juni 1945, yang telah diberi tajuk Lahirnja Pantjasila, dicetak ulang
sampai berkali-kali. Terbit pula sejumlah buku khusus membahas Pancasila, salah
satunya ditulis oleh tak kurang Ki Hadjar Dewantara. Dan Sukarno, sang penggali
Pancasila, dianugerahi doktor honoris causa oleh sederet universitas di dalam
maupun luar negeri. Tapi justru di tengah gelombang pasang itulah Sutan Takdir
Alisjahbana menyentak. Bahkan terasa mementahkan semua.
Dalam forum ahli pendidikan di Bandung, Takdir bilang: Pancasila
belum memenuhi syarat sebuah sistem filsafat, ide-ide di dalamnya saling
bertentangan, tidak koherensif. Misalnya, Sila I yang mengamanatkan warga untuk
bertuhan dan beragama, itu bertentangan dengan demokrasi dalam Sila IV yang menjamin
hak asasi warga untuk bebas beragama maupun tidak. “Sila-sila itu laksana pasir
yang tercerai-berai di pantai!” simpul sang pujangga yang memang dikenal
menekuni filsafat itu.
Penyatuan ide-ide yang bertentangan memang tak selesai dengan
merumuskannya dalam satu kata mejemuk. Misalnya penyatuan sosialisme dan
demokrasi (Sila V dan IV Pancasila). Baik untuk menangkal ekses ketidakadilan
sosial dalam demokrasi sebagaimana ditempuh Jean Jaures (yang dituruti Sukarno
dengan rumusan “sosio-demokrasi”-nya) maupun buat sebaliknya menangkal ekses
totaliteristik dalam sosialisme sebagaimana dianjurkan Bernstein dengan
“sosialis-demokrat”-nya (yang dituruti Hatta dan terutama Sjahrir di
Indonesia). Bahkan puluhan tahun sesudahnya, ketika 1990-an Prof. Anthony
Giddens mengusahakan revitalisasi Sosialisme-Demokrasi dengan jalan yang
kendati sudah ternilai sangat radikal, sosiolog asal Inggris tersebut masih
dicibir sebagai orang yang kurang mengerti sejauh mana kuasa dan kejinya
kapitalisme.
Sistem Kesatuan Antar-Sila
Sejak amaran Takdir itulah maka dimulai upaya serius mencari
rumusan sistem filsafat buat Pancasila. Upaya epistemologis. Walau lebih sering
dirancui upaya politis.
Tercatat yang pertama ialah Prof. Hamka dan Pdt. Rosin. Buya
Hamka, sastrawan dan ulama, mengajukan teori “urat tunggal” atau “akar
tunggang” Pancasila. Sila I, Ketuhanan, adalah akar dari semua sila lainnya.
Para politisi pro-komunisme berang, merasa diusir dari legitimasi ideologi
negara. Polarisasi politik mereka dengan umat Muslim inilah yang berkembang
mengekstrem sampai dalam sidang-sidang Konstituante. Sementara teori akar
tunggal itu sendiri ternilai kurang memadai, kurang rinci memedomani. Sejarah
di banyak negara menyaksikan betapa politik berlatar keagamaan melahirkan
sistem sosialisme maupun kapitalisme.
Adapun Dr. H. Rosin, dosen Sekolah Tinggi Theologia Jakarta,
menyatukan 5 sila dalam bangunan pentagram, seperti 5 sudut bintang. Setiap
sudut terhubung dengan sudut lainnya: setiap sila harus dimaknai berdasar semua
sila lainnya. Logika formalnya sudah tepat sebagai tujuan. Tapi tanpa pedoman
memadai untuk mencapai tujuan tersebut, hanya menghasilkan rumusan kata-kata
tanpa makna yang dibutuhkan. Itulah yang dialami Prof. Notonagoro di kemudian
hari. Misalnya ketika merumuskan “arti” sila-I: Ketuhanan YME yang
berkemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan Indonesia, berkerakyatan…
dan seterusnya. Rumusan begini tentu saja harus tergulung dalam lingkaran tak
berujung-pangkal, karena bila selanjutnya ditanya arti dari “berkemanusiaan”
atau “berpersatuan” yang menyifati sila Ketuhanan itu, maka masing-masingnya
pun harus dijelaskan sebagai: kemanusiaan yang berketuhanan, berpersatuan
Indonesia, dan seterusnya…. Dan seterusnya tanpa bisa henti!
Hingga sekarang sudah tak terhitung literatur yang berpretensi
sebagai “Filsafat Pancasila”, namun umumnya hanya silat kata-kata tanpa
pengertian yang terkonstruksi logis. Apalagi yang koherensif.
Malah ada yang lucu-lucu. Misalnya Prof. Moh. Yamin dalam
Seminar Pancasila 1959. Pancasila dinilainya sah sebagai filsafat karena sesuai
dengan falsafah Hegel yang mengajarkan dialektika atau serba-pertentangan.
Padahal sebuah falsafah justru memiliki paradigma serta sistem nilainya sendiri.
Seorang filsuf Pancasilais justru harus dapat menilai kekurangan Hegelianisme.
Banyak rumusan yang terperangkap pada ambisi menemukan apa yang
oleh ilmuwan sosial mutakhir dikritik sebagai monokausal. Meski dengan catatan
aneh-aneh, seperti “mono-dualisme” ala P-4 atau “mono-pluralis” dari konseptor
lainnya. Monokausal – seperti “Ekasila Gotong-Royong” dari Sukarno, “Eka
Prasetya Pancakarsa” dari P-4, “Bersamaisme” dari Prof. Soediman
Kartohadiprodjo, dan sebagainya – cenderung mengalami kesulitan seperti teori
akar tunggal, yakni buah-buah implikasi serta implementasi yang bisa tak
koherensif. Begitu pula bila diakarkan pada eksistensi manusia sebagaimana
dianjurkan H. Sidhi Gazalba dan kemudian Dr. Drijarkara, jika tanpa penjelasan
bahwa Pancasila adalah falsafah desisionik (bukan keniscayaan alamiah) dan
tanpa pedoman cukup rinci.
Ironi 4-Pilar
Ketika tahun 1960-an Sukarno mengajukan Panca Azimat Revolusi Indonesia, dimana Pancasila cuma sebagai salahsatu
elemennya, itu adalah penegasan bahwa Pancasila, oleh “sang penggali”-nya
sendiri, masih diyakini sebagai bukan falsafah dasar. Tak beda dengan 4-Pilar
Kebangsaan yang sekarang jadi mode; mengira sedang mengagungkan Pancasila
padahal sudah menafikan kefilsafatan Pancasila. Ironis! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar